1.
Rumah Gadang (Sumatera Barat)
Uraian Tentang Atap
Atap dari rumah gadang ini memiliki bentuk yang
unik. Berbentuk atap pelana tapi dengan
modifikasi atap yang dibuat beberapa lapis dan disetiap ujung atap dibuat
runcing, karena melambangkan tanduk kerbau (bergonjong). Rumah gadang dibangun
dengan bergonjong dimana semakin ke atas semakin runcing, supaya air mudah
meluncur.
Berikut ini adalah deskripsi lainnya tentang rumah gadang.
Gadang atau Rumah Godang adalah nama untuk rumah
adat Minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak di jumpai di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut
dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong atau ada juga yang
menyebut dengan nama Rumah Baanjung.
Rumah dengan model ini juga banyak dijumpai di Negeri Sembilan, Malaysia. Namun demikian tidak
semua kawasan di Minangkabau yang boleh didirikan rumah adat ini, hanya pada
kawasan yang sudah memiliki status sebagai nagari saja Rumah Gadang ini boleh didirikan. Begitu juga pada kawasan yang
disebut dengan rantau, rumah adat ini juga dahulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau
Minangkabau.
Fungsi
Rumah Gadang sebagai tempat tinggal bersama, mempunyai
ketentuan-ketentuan tersendiri. Jumlah kamar bergantung kepada jumlah perempuan
yang tinggal di dalamnya. Setiap perempuan dalam kaum tersebut yang telah
bersuami memperoleh sebuah kamar. Sementara perempuan tua dan anak-anak
memperoleh tempat di kamar dekat dapur. Gadis remaja memperoleh kamar bersama
di ujung yang lain.
Seluruh bagian dalam Rumah Gadang merupakan ruangan lepas
kecuali kamar tidur. Bagian dalam terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai
oleh tiang. Tiang itu berbanjar dari muka ke belakang dan dari kiri ke kanan.
Tiang yang berbanjar dari depan ke belakang menandai lanjar, sedangkan tiang dari
kiri ke kanan menandai ruang. Jumlah lanjar bergantung pada besar rumah, bisa dua, tiga dan empat.
Ruangnya terdiri dari jumlah yang ganjil antara tiga dan sebelas.
Rumah Gadang biasanya dibangun diatas sebidang tanah
milik keluarga induk dalam suku/kaum tersebut secara turun temurun dan hanya dimiliki dan diwarisi dari dan kepada perempuan
pada kaum tersebut. Dihalaman depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat
dua buah bangunanRangkiang, digunakan untuk menyimpan padi. Rumah Gadang pada sayap bangunan sebelah kanan dan
kirinya terdapat ruang anjung (Bahasa Minang: anjuang) sebagai tempat pengantin
bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena itu rumah Gadang dinamakan
pula sebagai rumah Baanjuang. Anjung pada kelarasan Bodi-Chaniago tidak memakai tongkat penyangga di
bawahnya, sedangkan pada kelarasan Koto-Piliang memakai tongkat penyangga. Hal
ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini yang berbeda, salah satu
golongan menganut prinsip pemerintahan yang hirarki menggunakan anjung yang
memakai tongkat penyangga, pada golongan lainnya anjuang seolah-olah mengapung
di udara. Tidak jauh dari komplek Rumah Gadang tersebut biasanya juga dibangun
sebuah surau kaum yang berfungsi sebagai tempat ibadah, tempat
pendidikan dan juga sekaligus menjadi tempat tinggal lelaki dewasa kaum
tersebut yang belum menikah.
Arsitektur
Rumah adat ini memiliki keunikan
bentuk arsitektur dengan bentuk puncak atapnya runcing yang menyerupai tanduk kerbau dan dahulunya dibuat
dari bahan ijuk yang dapat tahan sampai
puluhan tahun[3] namun belakangan atap rumah ini banyak berganti dengan
atap seng.
Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang
dan dibagi atas dua bahagian muka dan belakang. Dari bagian dari depan Rumah Gadang
biasanya penuh dengan ukiran ornamen dan umumnya bermotif akar, bunga, daun
serta bidang persegi empat dan genjang Sedangkan bagian luar belakang dilapisi
dengan belahan bambu. Rumah tradisional ini dibina dari tiang-tiang panjang,
bangunan rumah dibuat besar ke atas, namun tidak mudah rebah oleh goncangan dan
setiap elemen dari Rumah Gadang mempunyai makna tersendiri yang dilatari oleh tambo yang ada dalam adat dan budaya masyarakat setempat.
Pada umumnya Rumah Gadang mempunyai satu tangga yang
terletak pada bagian depan. Sementara dapur dibangun terpisah pada bagian
belakang rumah yang didempet pada dinding.
Ukiran
Pada bagian dinding Rumah Gadang di buat dari bahan
papan, sedangkan bagian belakang dari bahan bambu. Papan dinding dipasang vertikal, sementara semua papan
yang menjadi dinding dan menjadi bingkai diberiukiran, sehingga seluruh dinding menjadi penuh ukiran.
Penempatan motif ukiran tergantung pada susunan dan letak papan pada
dinding Rumah Gadang.
Pada dasarnya ukiran pada Rumah Gadang merupakan ragam hias
pengisi bidang dalam bentuk garis melingkar atau persegi. Motifnya umumnya tumbuhan merambat,akar yang berdaun, berbunga dan berbuah. Pola akar biasanya
berbentuk lingkaran, akar berjajaran,
berhimpitan, berjalinan dan juga sambung menyambung. Cabang atau ranting akar
berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas dan ke bawah.
Disamping motif akar, motif lain yang dijumpai adalah
motif geometri bersegi tiga, empat dan
genjang. Motifdaun, bunga atau buah dapat juga diukir
tersendiri atau secara berjajaran.
2. Rumah Banjar (Kalimantan selatan)
Uraian Tentang Atap
Berikut ini adalah deskripsi lainnya
tentang Rumah Banjar.
(Ba'anjung) adalah
nama kolektif untuk rumah tradisional suku Banjar (disebut Rumah
Banjar) dan suku Dayak Bakumpai. Umumnya, rumah tradisional Banjar dibangun dengan
beranjung (bahasa Banjar: ba-anjung), yaitu sayap bangunan yang menjorok dari samping kanan dan
kiri bangunan utama, karena itulah disebut Rumah
Ba'anjung(ber-anjung).
Anjung merupakan
ciri khas rumah tradisional Banjar, walaupun ada pula beberapa jenis Rumah
Banjar yang tidak beranjung. Rumah
tradisional Banjar pada umumnya beranjung dua yang disebut Rumah Ba-anjung Dua, namun
kadangkala rumah banjar hanya hanya beranjung satu, biasanya rumah tersebut
dibangun oleh pasangan suami isteri yang tidak memiliki keturunan.
Sebagaimana arsitektur tradisional pada umumnya, demikian
juga rumah tradisonal Banjar berciri-ciri antara lain memiliki perlambang,
memiliki penekanan pada atap, ornamental, dekoratif dan simetris.
Rumah tradisional Banjar adalah
jenis rumah khas Banjar dengan gaya dan ukirannya sendiri sejak sebelum tahun 1871 sampai tahun 1935. Pada tahun 1871, pemerintah kota
Banjarmasin mengeluarkan segel izin pembuatan Rumah Bubungan Tinggi di kampung Sungai Jingah yang merupakan rumah tertua
yang pernah dikeluarkan segelnya.
Jenis rumah yang bernilai paling
tinggi adalah Rumah Bubungan
Tinggi yang diperuntukan
untuk bangunan Dalam Sultan (kedaton) yang diberi nama Dalam Sirap. Dengan demikian,
nilainya sama dengan rumah joglo di Jawa yang dipakai sebagai kedhaton (istana kediaman
Sultan).
Keagungan seorang penguasa pada masa
pemerintahan kerajaan diukur oleh kuantitas ukuran dan kualitas seni serta
kemegahan bangunan-bangunan kerajaan khususnya istana raja (Rumah Bubungan
Tinggi). Dalam suatu perkampungan suku Banjar, terdapat berbagai jenis rumah
Banjar yang mencerminkan status sosial maupun
status ekonomi sang pemilik rumah. Dalam kampung tersebut, rumah dibangun
dengan pola linier mengikuti arah aliran sungai maupun jalan raya terdiri dari rumah yang dibangun
mengapung di atas air, rumah yang didirikan di atas sungai maupun rumah
yang didirikan di daratan, baik pada lahan basah (alluvial) maupun lahan
kering. Rumah Banjar terdiri Rumah Banjar masa Kesultanan Banjar dan Rumah Banjar masa kolonial.
Sejarah dan Perkembangan Rumah Adat
Banjar
Ikon Rumah adatBanjar, biasa disebut juga denganRumah
Bubungan Tinggi karena bentuk
pada bagian atapnya yang begitu lancip dengan sudut45º.
Bangunan RumahAdat Banjar diperkirakan
telah ada sejak abad ke-16, yaitu
ketika daerah Banjar di bawah kekuasaanPangeran Samudera yang kemudian memeluk agamaIslam, dan mengubah namanya menjadi Sultan Suriansyah dengan gelar Panembahan Batu Habang.
Sebelum memeluk agama Islam Sultan
Suriansyah tersebut menganut agama Hindu. Ia memimpinKerajaan Banjar pada tahun 1596–1620..
Namun perkembangannya kemudian
bentuk segi empat panjang tersebut mendapat tambahan di samping kiri dan kanan bangunan dan agak
ke belakang ditambah dengan sebuah ruangan yang berukuran sama panjang.
Penambahan ini dalam bahasa Banjar disebut disumbi.
Bangunan tambahan di samping kiri
dan kanan ini tamapak menempel (dalam bahasa Banjar: Pisang Sasikat) dan
menganjung keluar.
Bangunan tambahan di kiri dan kanan
tersebut disebut juga anjung; sehingga kemudian bangunan rumah
adat Banjar lebih populer dengan nama Rumah
Ba-anjung.
Sekitar tahun 1850 bangunan-bangunan
perumahan di lingkungan keraton Banjar, terutama
di lingkungan keraton Martapura dilengkapi dengan berbagai bentuk
bangunan lain.
Namun Rumah Ba-anjung adalah
bangunan induk yang utama karena
rumah tersebut merupakanistana tempat tinggal Sultan.
Bangunan-bangunan lain yang
menyertai bangunan rumah ba-anjung tersebut ialah yang disebut dengan Palimasan sebagai tempat penyimpanan harta
kekayaan kesultanan berupa emas danperak.
Balai Laki adalah tempat tinggal para menteri
kesultanan, Balai Bini tempat tinggal para inang pengasuh, Gajah Manyusu tempat tinggal keluarga terdekat
kesultanan yaitu para Gusti-Gusti dan Anang.
Selain bangunan-bangunan tersebut
masih dijumpai lagi bangunan-bangunan yang disebut denganGajah Baliku, Palembangan, dan Balai Seba.
Pada perkembangan selanjutnya,
semakin banyak bangunan-bangunan perumahan yang didirikan
baik di sekitar kesultanan maupun di daerah-daerah lainnya yang meniru bentuk bangunan rumah
ba-anjung.
Sehingga pada akhirnya bentuk rumah
ba-anjung bukan lagi hanya merupakan bentuk bangunan yang merupakan ciri khas kesultanan
(keraton), tetapi telah menjadi ciri khas bangunan rumahpenduduk daerah Banjar.
Kemudian bentuk bangunan rumah
ba-anjung ini tidak saja menyebar di daerah Kalimantan Selatan, tetapi juga
menyebar sampai-sampai ke daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Sekalipun bentuk rumah-rumah yang
ditemui di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur memiliki ukuran yang
sedikit berbeda dengan rumah Ba-anjung di daerah Banjar, namun bentuk bangunan
pokok merupakan ciri khas bangunan rumah adat Banjar tetap kelihatan.
Di Kalimantan Tengah bentuk rumah ba-anjung ini dapat
dijumpai di daerah Kotawaringin
Barat, yaitu di Pangkalan Bun, Kotawaringin Lama dan Kumai.
Menyebarnya bentuk rumah adat Banjar
ke daerah Kotawaringin ialah melalui berdirinya Kerajaan
Kotawaringin yang merupakan
pemecahan dari wilayah Kerajaan Banjar ketika diperintah olehSultan Musta’inbillah.
Sultan Musta’inbillah memerintah
sejak tahun 1650 sampai 1672, kemudian ia digantikan oleh Sultan Inayatullah.
Kerajaan
Kotawaringin yang merupakan
pemecahan wilayah Kerajaan Banjar tersebut diperintah oleh Pangeran Dipati Anta
Kesuma sebagai sultannya yang pertama.
Menyebarnya bentuk rumah adat Banjar
sampai ke daerah Kalimantan Timur disebabkan oleh banyaknya penduduk
daerah Banjar yang merantau ke daerah ini, yang kemudian mendirikan tempat
tinggalnya dengan bentuk bangunan rumah ba-anjung sebagaimana bentuk rumah di tempatasal mereka.
Demikianlah pada akhirnya bangunan
rumah adat Banjar atau rumah adat ba-anjung ini menyebar kemana-mana, tidak
saja di daerah Kalimantan
Selatan, tetapi juga di daerah Kalimantan Tengahdan Kalimantan Timur.
Di luar Kalimantan juga dibangun
rumah adat Banjar seperti di Kisaran, Kabupaten Asahan yang dibangun oleh
organisasi warga Kalimantan yaitu Paduan Masyarakat Keluarga Kalimatan (PMKK)
Asahan. dan juga di Serdang
Bedagai oleh Ikatan Masyarakat Banjar Indonesia (IMBAI) Sergai
Ø
Bagian dan Konstruksi Rumah Tradisonal Banjar
Pondasi, Tiang dan Tongkat
Keadaan alam yang berawa-rawa di
tepi sungai sebagai tempat awal tumbuhnya rumah tradisional Banjar, menghendaki bangunan dengan
lantai yang tinggi. Pondasi, tiang dan tongkat dalam hal ini sangat berperan.
Pondasi sebagai konstruksi paling dasar, biasanya menggunakan kayu Kapur Naga atau kayu Galam. Tiang dan tongkat menggunakan kayuulin, dengan jumlah mencapai 60 batang untuk tiang
dan 120 batang untuk tongkat.
Lantai
Di samping lantai biasa, terdapat
pula lantai yang disebut dengan Lantai Jarang atau Lantai
Ranggang. Lantai Ranggang ini biasanya terdapat di Surambi Muka, Anjung Jurai dan Ruang Padu, yang merupakan
tempat pembasuhan atau pambanyuan. Sedangkan yang di Anjung Jurai untuk tempat
melahirkan dan memandikan jenazah. Biasanya bahan yang digunakan
untuk lantai adalah papan ulin selebar 20 cm, dan untuk Lantai Ranggang dari papan Ulin selebar 10 cm.
Dinding
Dindingnya terdiri dari papan yang
dipasang dengan posisi berdiri, sehingga
di samping tiang juga diperlukan Turus Tawing dan Balabad untuk
menempelkannya. Bahannya dari papan Ulin sebagai dinding muka. Pada bagian
samping dan belakang serta dinding Tawing Halat menggunakan kayu Ulin atau Lanan. Pada bagian Anjung Kiwa, Anjung Kanan, Anjung Jurai dan Ruang Padu, kadang-kadang
dindingnya menggunakan Palupuh.
Ø
Filosofi Rumah Adat Banjar
Pemisahan jenis dan bentuk rumah
Banjar sesuai dengan filsafat dan religi yang bersumber
pada kepercayaan Kaharingan pada suku Dayak bahwa alam semesta yang terbagi menjadi 2 bagian, yaitu alam atas dan alam bawah.Rumah Bubungan Tinggi merupakan lambang mikrokosmos dalam makrokosmos yang
besar.Penghuni seakan-akan tinggal di bagian dunia tengah yang diapit oleh
dunia atas dan dunia bawah. Di rumah mereka hidup dalam keluarga besar, sedang kesatuan dari dunia atas
dan dunia bawah melambangkan Mahatala dan Jata (suami dan
isteri).
3.
Rumah Baduy
(banten)
Uraian Tentang Atap
Atap Rumah Baduy
berbentuk pelana dengan terbentang sepanjang kanan-kiri rumah, yang pada
umumnya atap jenis ini terbentang dari depan – belakang,. Bagian depan atap
Rumah Banjar juga dibuat memanang layaknya atap sandar, tapi langsung menempel
dengan atap utama. Atap rumah adat baduy terbuat dari daun yang disebut sulah nyanda. Nyanda berarti sikap bersandar, sandarannya
tidak lurus melainkan agah merebah ke belakang. Salah satu sulah nyanda ini dibuat lebih panjang dan
memiliki kemiringan yang lebih rendah pada bagian bawah rangka atap.
Berikut ini adalah deskripsi lainnya
tentang Rumah Baduy.
Secara umum rumah adat Baduy merupakan rumah panggung
yang hampir secara keseluruhan rumah menggunakan bahan bambu. Rumah adat baduy
ini sendiri terkenal dengan kesederhanaan, dan dibangun berdasarkan naluri
manusia yang ingin mendapatkan perlindungan dan kenyamanan.
Bangunan rumah
adat Baduy dibuat tinggi, berbentuk panggung, mengikuti tinggi rendahnya/kontur
permukaan tanah. Pada tanah yang miring dan tidak rata permukaannya, bangunan
disangga menggunakan tumpukan batu. Batu yang digunakan adalah batu kali,
berfungsi sebagai tiang penyangga bangunan dan menahan agar tanah tidak
longsor.
Bilik rumah dan pintu rumah terbuat dari anyaman bambu
yang dianyam secara vertikal. Teknik anyaman tersebut dikenal dengan nama sarigsig tersebut dibuat hanya dengan
berdasarkan perkiraan, tidak diukur terlebih dahulu. Kunci rumah dibuat dengan
memalangkan dua buah kayu yang ditarik atau didorong dari bagian luar rumah.
Ada tiga ruangan dalam bangunan rumah
adat ini, yaitu ruangan yang dikhususkan untuk ruang tidur kepala keluarga juga
dapur yang disebut imah,
ruang tidur untuk anak-anak sekaligus ruang makan yang disebut tepas, dan ruang untuk menerima tamu
yang disebut sosoro.
Seluruh bangunan
dibangun menghadap satu dengan yang lainnya. Secara adat rumah Baduy hanya
diperbolehkan menghadap ke utara dan selatan saja.
Secara spesifik
Henry H Loupias menyusun sebuah tulisan Mengenal
Arsitektur Rumah Adat Baduy dalam
upayanya memperkenalkan kearifan dan sinergisitas masyarakat Baduy. Seperti
yang saya kutip secara keseluruhan di bawah ini:
Pada umumnya
kehidupan sehari-hari suku-suku di pedalaman mengandalkan naluri, termasuk
dalam upaya menyesuaikan serta menyelaraskan diri dengan lingkungan alam
sekitarnya. Banyak teknik atau cara yang digunakannya tergolong berteknologi
cukup “tinggi” dan mampu memprediksi kebutuhan hidupnya hingga masa depan.
Kecenderungan
tersebut diperlihatkan secara jelas pada arsitektur vernakular suku Baduy Dalam
di Kampung Cibeo. Bentuk dan gaya bangunan rumah tinggalnya sangat sederhana,
dibangun berdasarkan naluri sebagai manusia yang membutuhkan tempat berlindung
dari gangguan alam dan binatang buas. Kesan sederhana tersebut tersirat dalam
penataan eksterior dan interiornya.
Seluruh bangunan rumah tinggal suku Baduy menghadap ke
utara-selatan dan saling berhadapan. Menghadap ke arah barat dan timur tidak
diperkenankan berdasarkan adat. Di samping itu, ada hal yang cukup menarik dan
penting di kalangan suku Baduy, yaitu cara mereka memperlakukan alam atau bumi.
Mereka tidak pernah berusaha mengubah atau mengolah keadaan lahannya-misalna
ngalelemah taneuh, disaeuran, atawa diratakeun-untuk kepentingan bangunan yang
akan didirikan di atasnya.
Sebaliknya, mereka
berusaha memanfaatkan dan menyesuaikan dengan keadaan dan kondisi lahan yang
ada. Hasilnya memperlihatkan permukiman yang alami. Bangunan-bangunan tersebut
bagaikan sebuah kesatuan dari alam itu sendiri, berdiri berumpak-umpak
mengikuti kontur atau kemiringan tanahnya.
Rumah tinggal suku
Baduy Dalam termasuk jenis bangunan knock down dan siap pakai, yang terdiri dari
beberapa rangkaian komponen. Selanjutnya, komponen-komponen tersebut dirakit
atau dirangkai dengan cara diikat menggunakan tali awi temen ataupun dengan cara dipaseuk.
Konstruksi
utamanya yang berfungsi untuk menahan beban berat, seperti tihang-tihang, panglari, pananggeuy, dan lincar, dipasang dengan cara dipaseuk
karena alat paku dilarang digunakan. Justru teknik tersebut bisa memperkuat
karena kedua kayu yang disambungkan lebih menyatu, terutama ketika kedua
kayunya sudah mengering.
Sementara komponen
seperti bilik (dinding), rarangkit (atap), dan palupuh (lantai) hanya sekadar diikat atau
dijepit pada bambu atau kayu konstruksi. Oleh karena itu, bangunan rumah
tinggal suku Baduy termasuk jenis bangunan tahan gempa karena konstruksinya
bersifat fleksibel dan elastis.
Bangunan rumah
tinggalnya berbentuk rumah panggung. Karena konsep rancangannya mengikuti
kontur lahan, tiang penyangga masing-masing bangunan memiliki ketinggian
berbeda-beda. Pada bagian tanah yang datar atau tinggi, tiang penyangganya
relatif rendah. Adapun pada bagian yang miring, tiangnya lebih tinggi.
Tiang-tiang penyangga tersebut bertumpu pada batu kali agar kedudukannya
stabil.
Batu kali
merupakan komponen yang cukup penting pula di lingkungan kampung suku Baduy.
Selain digunakan untuk tumpuan tiang penyangga, batu kali juga digunakan sebagi
penahan tanah agar tidak longsor. Caranya dengan ditumpuk membentuk benteng,
atau dipakai untuk membuat anak tangga, selokan, ataupun tempat berjalan yang
sangat berguna terutama jika musim hujan tiba.
Jenis atapnya
disebut sulah nyanda.
Pengertian dari nyanda adalah posisi atau sikap bersandar
wanita yang baru melahirkan. Sikap menyandarnya tidak tegak lurus, tetapi agak
merebah ke belakang. Jenis atap sulah nyanda tidak berbeda jauh dengan jenis atap julang ngapak. Jika jenis atap yang
disebutkan terakhir memiliki dua atap tambahan di kedua sisinya, atap jenis
sulah nyanda hanya memiliki satu atap tambahan yang disebut curugan. Salah satu
atap pada sulah nyanda lebih panjang dan memiliki kemiringan yang rendah.
Rumah tinggal suku
Baduy hanya memiliki satu pintu masuk yang ditutup dengan panto, yaitu sejenis daun pintu yang
dibuat dari anyaman bilah-bilah bambu berukuran sebesar ibu jari dan dianyam
secara vertikal. Teknik anyaman tersebut disebut sarigsig. Orang Baduy tidak mengenal
ukuran seperti halnya masyarakat modern. Karena itu, mereka pun tidak pernah
tahu ukuran luas maupun ketinggian rumah tinggal mereka sendiri.
Semuanya dibuat
dengan perkiraan dan kebiasaan semata. Dalam menentukan ukuran lebar pintu
masuk, mereka cukup menyebutnya dengan istilah sanyiru asup. Lebar pintu diukur
selebar ukuran alat untuk menampi beras. Sebagian besar pintu tidak dikunci
ketika ditinggalkan penghuninya. Akan tetapi, beberapa orang membuat tulak untuk
mengunci pintu dengan cara memalangkan dua kayu yang didorong atau ditarik dari
samping luar bangunan. Ruangan Inti
Pembagian interiornya terdiri dari tiga
ruangan, yaitu sosoro, tepas, dan imah. Sosoro dipergunakan untuk menerima kunjungan
tamu. Letaknya memanjang ke arah bagian lebar rumah. Selanjutnya, ruang tepas yang
membujur ke arah bagian panjang atau ke belakang digunakan untuk acara makan
atau tidur anak-anak. Antara ruangan sosoro dan tepas tidak terdapat pembatas.
Keduanya menyatu membentuk huruf L terbalik atau siku.
Tampaknya bagian inti dari rumah suku
Baduy terletak pada ruangan yang disebut imah karena ruang tersebut memiliki fungsi
khusus dan penting. Selain berfungsi sebagai dapur (pawon), imah juga
berfungsi sebagai ruang tidur kepala keluarga beserta istrinya.
Mereka tidak memiliki tempat tidur
khusus, tetapi hanya menggunakan tikar. Alas tersebut digunakan hanya sewaktu
tidur, setelah itu dilipat kembali dan disimpan di atas rak. Cara tersebut
menunjukkan bahwa kegunaan imah sangat fleksibel dan multifungsi. Di
sekeliling ruangan imah terdapat rak-rak untuk menyimpan peralatan dapur dan
tikar untuk tidur.
Secara garis besar, yang dinamakan imah adalah
sebuah ruangan atau bagian inti dari tata ruang dalam rumah tinggal suku Baduy.
Hampir seluruh kegiatan berpusat pada ruangan tersebut, baik hal-hal yang
bersifat lahiriah, seperti menyediakan makanan dan minuman, maupun hal-hal yang
batiniah, termasuk menjalankan peran sebagai pasangan suami-istri dan kepala
keluarga.
Melalui kegiatan bergotong royong
seluruh kampung, dalam sehari mereka dapat menyelesaikan sekitar sepuluh
bangunan rumah tinggal yang luasnya lebih kurang 100-120 meter persegi. Hal ini
dapat terlaksana karena mereka tinggal memasang seluruh komponennya.
Di Desa Cibeo terdapat 80 rumah tinggal
dengan 100 kepala keluarga. Saat pelaksanaan program, seluruh warga turun
bergotong royong, bahu-membahu membantu tanpa pamrih. Mereka menyumbangkan
bahan bangunan, komponen rumah, atau tenaganya. Hal itu merupakan bentuk
kebersamaan kolektif yang masih kuat dan dipelihara di kalangan suku Baduy
Dalam hingga kini.
4.
Rumah Joglo (Jawa tengah)
Uraian Tentang Atap
Atap Rumah Joglo berbentuk Perisai yang tinggi atapnya melebihi lebar
atapnya. Biasanya, semakin tinggi atap rumah Joglo, Semakin tinggi juga status
social pemilik rumah. Atap rumah iniditutup dengan genting yang terbuat dari
tanah liat.
Berikut ini adalah deskripsi lainnya
tentang Rumah Joglo.
Joglo adalah rumah adat masyarakat Jawa.
Bagian-bagian joglo yaitu :
1.
pendapa.
2.
pringgitan.
3.
dalem.
4.
sentong.
5.
gandok tengen.
6.
gandok kiwo.
Bagian pendapa adalah bagian paling
depan Joglo yang mempunyai ruangan luas tanpa sekat-sekat, biasanya digunakan
sebagai tempat pertemuan untuk acara besar bagi penghuninya.Seperti acara
pagelaran wayang
kulit,tari,gamelan dan yang lain.Pada waktu ada acara syukuran
biasanya sebagai tempat tamu besar. Pendopo biasanya terdapat soko guru,soko
pengerek,tumpang sari.
Bagian Pringgitan
adalah bagian penghubung antara pendopo dan rumah dalem.Bagian ini dengan
pendopo biasanya di batasi dengan seketsel dan dengan dalem dibatasi dengan
gebyok.Fungsi bagian pringgitan biasanya sebagai ruang tamu.
Bagian Dalem adalah
bagian tempat bersantai keluarga. Bagian ruangan yang bersifat lebih privasi.
Ø Jenis Joglo
1.
Joglo Limasan Lawakan (atau “Joglo
Lawakan”).
2.
Joglo Sinom
3.
Joglo Jompongan
4.
Joglo Pangrawit
5.
Joglo Mangkurat
6.
Joglo Hageng
7.
Joglo Semar Tinandhu
5. Rumah Betang (Kalimantan tengah)
Uraian Tentang Atap
Atap Rumah Betang Berbentuk atap pelana, yang diberi
tambahan atap pada bagian tengah bangunan (ruangan utama) yanga kedudukan
atapnya lebih tinggi.
Berikut ini adalah deskripsi lainnya tentang Rumah
Betang.
Rumah betang
mempunyai ciri-ciri yaitu; bentuk Panggung, memanjang. Pada suku Dayak tertentu,
pembuatan rumah panjang bagian hulunya haruslah searah dengan Matahari terbit dan
sebelah hilirnya ke arah Matahari terbenam, sebagai simbol kerja-keras untuk
bertahan hidup mulai dari Matahari tumbuh dan pulang ke rumah di Matahari
padam.
Di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, rumah betang sudah tidak
ada yang asli lagi, yang ada adalah yang sudah dibangun ulang. Di bagian paling
hulu, rumah betang yang dibangun kembali ada di Desa Tumbang Bukoi, Kecamatan Mandau Talawang. Di bagian hilir,
rumah betang yang dibangun kembali ada di Desa Sei Pasah, Kecamatan Kapuas Hilir. Bangunan ini dibangun tidak jauh dari rumah betang
asli yang sudah runtuh, tapi masih ada sisa-sisa tiangnya.
Di Kabupaten
Pulang Pisau, Kalimantan Tengah ada rumah betang asli yang dibangun sejak tahun
1870. Letaknya di Desa Buntoi, Kecamatan Kahayan Hilir. Rumah ini menghadap Sungai Kahayan
dan memiliki pelabuhan yang siap menyambut kedatangan wisatawan melalui sungai.
6. Rumah Honai (Papua)
Uraian Tentang Atap
Berikut ini adalah deskripsi lainnya tentang Rumah Honai.
Honai sengaja dibangun sempit atau kecil dan tidak
berjendela yang bertujuan untuk menahan hawa dingin pegunungan Papua. Honai
biasanya dibangun setinggi 2,5 meter dan pada bagian tengah rumah disiapkan
tempat untuk membuat api unggun untuk menghangatkan diri. Rumah Honai terbagi dalam tiga tipe, yaitu
untuk kaum laki-laki(disebut Honai), wanita (disebut Ebei), dan kandang babi (disebut Wamai).
Rumah Honai biasa ditinggali oleh 5 hingga 10 orang.
Rumah Honai dalam satu bangunan digunakan untuk tempat beristirahat (tidur),
bangunan lainnya untuk tempat makan bersama, dan bangunan ketiga untuk kandang
ternak. Rumah Honai pada umumnya
terbagi menjadi dua tingkat. Lantai dasar dan lantai satu dihubungkan dengan
tangga dari bambu. Para pria tidur pada lantai dasar secara melingkar, sementara para wanita
tidur di lantai satu. Dali rocks
7.
Rumah Tongkonan (Sulawesi selatan)
Uraian Tentang Atap
Berikut ini adalah deskripsi lainnya tentang Rumah Tongkonan.
Bagian
dalam ruangan Rumah Tongkonan dijadikan tempat tidur dan dapur. Tongkonan
digunakan juga sebagai tempat untuk menyimpan mayat. Tongkonan berasal dari kata tongkon (artinya
duduk bersama-sama). Tongkonan dibagi berdasarkan tingkatan atau peran dalam
masyarakat (stara sosial Masyarakat Toraja). Di depan tongkonan
terdapat lumbung padi, yang disebut ‘alang‘. Tiang-tiang lumbung padi ini
dibuat dari batang pohon palem (banga) saat ini sebagian sudah dicor. Di
bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan
matahari (disebut pa'bare' allo), yang merupakan simbol untuk menyelesaikan
perkara.
Khususnya
di Sillanan-Pemanukan (Tallu Lembangna) yang dikenal dengan istilah
Ma'duangtondok terdapat tongkonan yaitu Tongkonan Karua (delapan rumah
tongkonan) dan Tongkonan A'pa'(empat rumah tongkonan) yang memegang peranan
dalam masyarakat sekitar.
Tongkonan
karua terdiri dari:
Ø
Tongkonan
Pangrapa'(Kabarasan)
Ø
Tongkonan Sangtanete
Jioan
Ø
Tongkonan Nosu (To
intoi masakka'na)
Ø
Tongkonan
Sissarean
Ø
Tongkonan Karampa'
Panglawa padang
Ø
Tongkonan
Tomentaun
Ø
Tongkonan To'lo'le
Jaoan
Ø
Tongkonan To
Barana'
Tongkonan
A'pa' terdiri dari:
1. Tongkonan Peanna Sangka'
2. Tongkonan To'induk
3. Tongkonan Karorrong
4. Tongkonan Tondok Bangla' (Pemanukan)
Banyak rumah adat
yang konon dikatakan tongkonan di Sillanan, tetapi menurut masyarakat setempat,
bahwa yang dikatakan tongkonan hanya 12 seperti tercatat di atas. Rumah adat
yang lain disebut banua pa'rapuan. Yang dikatakan tongkonan di Sillanan adalah
rumah adat di mana turunannya memegang peranan dalam masyarakat adat setempat.
Keturunan dari tongkonan menggambarkan strata sosial masyarakat di Sillanan. Contoh
Tongkonan Pangrapa' (Kabarasan)/ pemegang kekuasaan pemerintahan. Bila ada
orang yang meninggal dan dipotongkan 2 ekor kerbau, satu kepala kerbau dibawa
ke Tongkonan Pangrapa' untuk dibagi-bagi turunannya.
Stara
sosial di masayarakat Sillanan di bagi atas 3 tingkatan yaitu:
Ø
Ma'dika (darah biru/keturunan
bangsawan);
Ø
To Makaka (orang
merdeka/bebas);
Ø
Kaunan (budak),
budak masih dibagi lagi dalam 3 tingkatan.
8. Rumah Adat Lamin (Kalimantan Timur)
Uraian Tentang Atap
Atap rumah Lamin
Terdiri dari dua bagian. Bagian atas berbentuk atap pelana dan bagian bawah
berbentuk atap perisai yang berpenampang atas berbentuk persegi panjang.
Berikut ini adalah deskripsi lainnya tentang Rumah Lamin.
Sebagian besar
penduduk Kalimantan Timur khususnya suku Dayak hidup secara berkelompok atau
kekerabatan suku Dayak sangatlah kuat. Maka hal ini dibuktikan dengan rumah yang mereka
bangun, sebagian besar rumah yang dibangun mereka secara berkelompom juga,
selalu saja lebih dari 1 kepala kelaurga. Contohnya Rumah Adat Lamin yang
diresmikan pada tahun 1987. Rumah yang berbentuk panggung tersebut tidak kurang
dihuni 12 kepala keuarga atau skitar 50-100 orang. Diperkirakan ukuran rumah
lamin sekitar dengan panjang mencapai 30 meter, lebar 15 meter dan tinggi
sekitar 3 meter.
·
Ciri-ciri Rumah
Lamin
Setiap rumah adat pastinya
mempunya ciri khas yang menjadi daya tarik suku Dayak. Dalam rumah Lamin
sendiri ada bebarapa ciri yang sangat kental seperti pada pada ukiran atap ada
terdapat patung yang ebrbebtuk naga dan bunrung enggan. Yang mengandung arti
kesaktian dan kewajiban masayarakat Dayak. Pada bagian dinding yang paling
em,nonjol adalah dari segi warna. Rumah ini dominan dengan warna kuning, putih
dan hitam yang berbentuk salur pakis dan mata yang masyarakat percaya
mengandung makna suku Dayakmampu niat buruk orang lain yang akan
mencelakakan suku Dayak dan melambangkan persaudaraan suku Dayak. Selain itu
juga pada bagian kaki yang
berbnetuk ukiran kerangka manusia dan juga binatang wanita memakai kain, serta
bentuk semi-abstrakyang
melambangkan persaudaraan suku Dayak desa Pampang. Masayarat percya ukiran dan
patung tersebut berfungsi untuk mengusir roh-roh jahat mengingat kepercayaan
suku Dayak yang masih percaya dengan kekuatan-kekuatan gaib atau animisme.
Bahan utama
bangunan rumah adat Lamin adalah kayu ulin atau banyak orang yang menyebutnya
sebagai kayu besi. Disebut kayu besi karena memang jenis kayu tersebut adalah
kayu yang sangat kuat. Bahkan banyak orang mengatakan jika kayu ulin terkena air maka justru tingkat kekuatannya akan
semakin keras. Mungkin hal inilah yang membuat banyak orang yang membangun
rumah di atas dataran rawa atau pinggiran sungai namun tahan lama umur
bangunannya. Selain bangunan, totem-totem yang ada di bagian depan Lamin juga
terbuat dari bahan kayu ulin. Menurut saya pribadi, bangunan yang terbuat dari
bahan kayu ulin memiliki kesan mewah karena warna hitam khasnya. Hanya saja
menurut penduduk sekitar saat ini agak sulit untuk mencari pohon ulin karena
ada alih konversi lahan serta perambahan hutan-hutan.
Di bagian dalam
lamin terdapat beberapa alat yang biasa digunakan dalam melakukan upacara adat
tertentu. Di bagian dalam Lamin sempat ada beberapa tengkorak kepala kerbau
yang bertuliskan tanggal waktu. Menurut saya tanggal tersebut menunjukkan kapan
seseorang tersebut meninggal. Dan juga Saya yakin tengkorak tersebut adalah
bagian dari upacara melepas kematian yang biasa dilakukan oleh suku Dayak.
‘Menyembelih’ kerbau adalah rangkaian puncak dari
upacara Kuangkai yang dilakukan untuk upacara kepergian seseorang yang telah
meninggal).
v Diolah dari berbagai Sumber:
http://ruangrumahkita.blogspot.com/2013/11/kumpulan-gambar-rumah-adat-indonesia.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Gadang
http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Baanjung
http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/1230/rumah-adat-baduy
http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Joglo
http://id.wikipedia.org/wiki/Rumah_Betang
http://id.wikipedia.org/wiki/Honai
http://id.wikipedia.org/wiki/Tongkonan
http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/1055/rumah-adat-lamin-kalimantan-timur
Artikel yang sangat menarik... Saya ingin berbagi article tentang Kuil Kinkaju di http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/04/kyoto-di-kuil-kinkaku-ji.html
ReplyDeleteLihat juga video di youtube https://youtu.be/DSRNjQ16EbQ
Terimakasih, artikel ini ikut membantu penyusunan karya tulis saya mengenai arsitektur tradisional bali
ReplyDelete